Jumat, 25 Maret 2011

MASIH JAUH DARI HARAPAN

Posted by Teropong Indonesia 02.00, under | No comments

TAK RELA : Sikap arogan Polisi Malaysia yang menangkap tiga petugas DKP di perairan Indonesia oleh masyarakat harus ditindak tegasSaat harga diri bangsa diinjak-injak, pemimpinnya malah mengatasinya dengan bersikap normatif.

Peristiwa penangkapan petugas Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) oleh kepolisian Malaysia sudah sebulan berlalu. Namun karena tindakan dan respon petinggi kedua negara dianggap tidak sesuai keinginan rakyat, hubungan kedua negara masih belum seutuhnya pulih. Pertemuan Menlu kedua negara juga tidak memuaskan semua pihak.
Seperti diketahui, ketegangan dipicu oleh tindakan arogan polisi Malaysia yang menangkap dan menahan tiga orang petugas Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) 13 Agustus 2010 lalu. Kekesalan masyarakat Indonesia atas sikap dan kelakuan pemerintah dan masyarakat Malaysia selama ini pun semakin memuncak. Saking kesalnya, ada yang melampiaskannya dengan melakukan aksi protes di Kedubes Malaysia di Jakarta (23/8/2010). Para demonstran melempar tinja ke kantor Kedubes Malaysia, menginjak-injak dan membakar kain yang mirip bendera Malaysia, Jalur Gemilang.
Kekesalan masyarakat itu, juga tidak terlepas dari sikap pemerintah dan masyarakat Malaysia selama ini yang sering memandang sebelah mata pemerintah dan masyarakat Indonesia.
Sebelumnya, berbagai pelecehan yang sama juga sudah kerap dilakukan bangsa itu terhadap Indonesia. Beberapa tahun lalu misalnya, negara itu mengklaim Pulau Sipadan dan Ligitan sebagai miliknya. Kemudian beberapa karya seni bangsa Indonesia, seperti tari reog juga mereka klaim sebagai hasil karyanya. Selain itu, warganya juga kerap memperlakukan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) tidak manusiawi dan menyebut mereka dengan sebutan ‘Indon’ yang bernada merendahkan.
Yang membuat peristiwa itu sangat menyingung perasaan bangsa Indonesia adalah penangkapan itu dilakukan terhadap petugas resmi Indonesia yang sedang menjalankan tugas dan baru saja menangkap tujuh nelayan Malaysia yang sedang mencuri ikan di perairan Indonesia. Selain itu, tiga petugas DKP itu diperlakukan bak penjahat, dimana baju resminya dipreteli lalu diberi baju tahanan.
Kekecewaan masyarakat semakin bertambah karena seperti dikatakan Dirjen Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (P2SDKP) Aji Sularso, peristiwa penembakandan penahanan terhadap petugas Indonesia seperti ini sudah sering dilakukan polisi Malaysia. Menlu RI Marty Natalegawa juga mengakui peristiwa seperti itu sering terjadi. Namun, hal itu disebutkan terjadi karena belum adanya kesepakatan soal batas antara Indonesia dengan Malaysia di perairan itu.
Semakin mengesalkan lagi, karena insiden itu terjadi menjelang ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia ke-65. Sehingga, gejolak perasaan marah seperti pernah terjadi di era kepemimpinan Presiden Soekarno, dimana pada 27 Juli 1963, pernah mengobarkan perlawanan terhadap Malaysia dengan seruan “Ganyang Malaysia”-nya, hampir bangkit kembali. Banyak masyarakat telah menyatakan siap berperang dengan Malaysia.
KECAM : Sejumlah elemen masyarakat memprotes sikap arogansi Malaysia yang dinilai menginjak-injak harkat dan martabat IndonesiaSelain masyarakat awam, para politisi dan pemerhati hubungan luar negeri juga banyak yang merasa kesal dengan tindakan Malaysia itu. Wakil Ketua DPR, Priyo Budi Santoso misalnya menyatakan, tindakan Malaysia tersebut sudah melecehkan dan kelewatan. Jadi setidaknya pemerintah Indonesia harus menunjukkan sikap tegas atas insiden itu dengan memberikan teguran kepada Malaysia. Ia khawatir, jika hal seperti itu dibiarkan terus terulang, kewibawaan pemerintahan menjadi jatuh.
Pengamat hubungan internasional dari Universitas Gadjah Mada Fatkurrohman bahkan berpendapat, tindakan yang dilakukan Malaysia itu adalah tindakan provokasi, sehingga tindakan diplomasi kepada Pemerintah Malaysia harus dilakukan dengan tegas dan keras. Tidak hanya sekadar memberikan teguran tegas, tapi juga perlu melakukan pembicaraan antarkepala negara terkait dengan berbagai pelanggaran wilayah yang dilakukan Malaysia.
Belakangan, kekecewaan masyarakat Indonesia tidak lagi hanya ditujukan kepada Pemerintah Malaysia, tapi juga terhadap Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang dianggap terlalu lunak menghadapi Malaysia. Sebab, Menlu Marty Natalegawa mengaku hanya mengirim dua kali nota protes. Bahkan Presiden SBY, hingga dua pekan sejak kejadian, belum memberikan statemen yang berarti. Ketidakpuasan masyarakat atas ketidaktegasan Pemerintah Indonesia dalam masalah ini karena dianggap akan bisa menciptakan preseden buruk terhadap posisi Indonesia.
Secara umum, masyarakat Indonesia menginginkan agar pemerintah Malaysia paling tidak meminta maaf kepada Indonesia. Namun sebaliknya, Menteri Luar Negeri Malaysia Anifah Aman jelas-jelas menolak minta maaf. Karena menurutnya, ketiga petugas DKP itu ditangkap di wilayah Malaysia. “Mengapa kita harus meminta maaf?” katanya seperti dilaporkan harian The Star dan New Strait Times (27/8). Bahkan, merespon sikap para demonstran di Kedubes Malaysia (23/8/2010) itu, Anifah Aman, mewacanakan akan memberlakukan travel advisory terhadap Indonesia atau larangan bagi warganya untuk bepergian ke Indonesia.
Mendapat respon berupa ancaman yang dianggap ‘belagu’ itu, emosi masyarakat Indonesia semakin panas. Anjuran agar pemerintah segera merealisasikan tindakan tegas dan berani terhadap Malaysia, berupa pemutusan hubungan diplomatik atau paling tidak menurunkan hubungan diplomatik pun semakin deras diserukan berbagai pihak di dalam negeri.
Dosen Hubungan Internasional dari F-ISIP UI, Andi Widjojanto sebagaimana dilansir Kompas (27/8/2010) misalnya mengatakan, mumpung isunya sekarang ini seputar masalah kecil yang sifatnya teknis, Indonesia harus bisa bersikap tegas. Tujuannya, menjadikan ketegangan sebagai terapi kejut. Agar semua sadar, hubungan Indonesia dengan Malaysia selama ini bukan tanpa masalah.
Ketua Umum PDS Denny Tewu bahkan sempat mengatakan akan mengirim surat kepada Presiden SBY untuk meminta pemerintah meninjau kembali hubungan diplomatik dengan Malaysia. Pengajar Ilmu Hubungan Internasional Universitas Airlangga, Basis Susilo juga sependapat dengan usulan pemutusan hubungan diplomatik karena menurutnya, kesiapan pemerintah memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia pada akhirnya akan meningkatkan gengsi Indonesia di mata negara lain.
Sedangkan Menkopolhukam Djoko Suyanto mengatakan, ide berperang atau berkonfrontasi dengan Malaysia atau menarik duta besar, tidak akan menyelesaikan masalah. Menurutnya, diperlukan pendinginan suasana dari setiap pihak. Baru setelah itu pembicaraan tentang perbatasan bisa dilanjutkan kembali.
Gencarnya masyarakat mempertanyakan sikap pemerintah yang tidak tegas, sedikit terjawab pada 27 Agustus. Presiden SBY akhirnya mengambil langkah dalam menyikapi perseteruan Indonesia-Malaysia ini dengan menyurati PM Malaysia Datok Sri Mohd Najib Tun Abdul Razak.
Namun, cara Presiden SBY mengekspresikan protes dengan cara mengirim surat dipertanyakan. Direktur Lingkar Madani (LIMA) Ray Rangkuti menyebut tindakan Presiden SBY mengirim surat kepada PM Malaysia Datuk Sri Najib Tun Razak untuk mempercepat perundingan perbatasan perairan Indonesia memundurkan upaya diplomatik yang telah dicapai selama ini. Menurut Ray, setidaknya tindakan pemerintahan SBY itu melemahkan upaya untuk menekan pemerintah Malaysia agar lebih bersikap sopan terhadap aparat penegak perbatasan Indonesia dan untuk meminta maaf atas tindakan mereka yang bukan saja berulangkali memperlakukan Indonesia dengan tindakan provokatif tapi juga secara perlahan mengokuvasi wilayah Indonesia khususnya tapal batas laut. Ray mengatakan, jelas sikap dan langkah SBY ini tidak mencerminkan aspirasi umum yang berkembang di Indonesia yang geram dan marah atas sikap dan tindak Malaysia yang berulangkali melecehkan bangsa ini.
Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Wiranto juga menyayangkan cara SBY itu. “Pengiriman surat protes tidak cukup. Kami minta pemerintah lebih tegas lagi terhadap Malaysia,” kata Wiranto usai meresmikan kantor DPD Hanura Jatim di Surabaya, Minggu (29/8) malam.
Mantan Panglima TNI itu menganggap perlakuan Malaysia terhadap Indonesia akhir-akhir ini sudah tidak mencerminkan hubungan yang baik antarkedua negara bertetangga itu. Indonesia harus menunjukkan diri kalau masih memiliki kehormatan karena ini adalah persoalan harga diri bangsa.
Empat hari setelah mengirim surat, Presiden SBY kemudian menyampaikan sikap resmi Indonesia di Markas TNI, Cilangkap, Jakarta Timur (1/9/2010). Pidato Presiden SBY di Mabes TNI itu malah menuai kritik pedas dan jauh dari harapan. Komisi I DPR menilai pidato itu hanya pengulangan ketidaktegasan pidato sebelumnya. “Tidak ada yang baru, pidato presiden SBY adalah pengulangan dan penegasan sikap pemerintah yang mengedepankan penyelesaian diplomatik dan fokus pada penyelesaian perundingan batas wilayah,” ujar Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddik (2/9). Desakan ketegasan SBY, sebelumnya juga disampaikan oeh Ketua MPR Taufiq Kiemas. TK mengira SBY sedang mengkonsolidir TNI di markasnya untuk kesiapan perang.
Sedangkan pengamat politik UI Iberamsjah menyebut pidato Presiden SBY itu terlalu normatif dan tidak menjawab keinginan masyarakat. Iberamsjah menilai, sikap SBY tidak tercermin secara jelas dalam pidatonya. Malah, kata Iberamsjah, SBY hanya menyampaikan seruan untuk mendinginkan suasana, bukan menunjukkan sikap suatu bangsa. “Benar memang anti klimaks. Saya sudah perkirakan tidak ada pernyataan yang tegas. Meminta supaya santun, sebagai negara ASEAN dan sebagainya itu sudah hal biasa dan normatif kan? Tidak ada kata-kata kita siap berhadapan dada jika Malaysia bermain-main,” tegasnya.
Setelah pernyataan resmi presiden SBY itu, ketegangan antara Indonesia-Malaysia mulai menurun seiring dengan makin dekatnya perayaan Idul Fitri 1431 H. Menlu Marty Natalegawa kemudian mengadakan pertemuan dengan Menlu Malaysia, Anifah di Kinabalu, Malaysia (6/9/2010) untuk membicarakan perbatasan laut kedua negara. Pertemuan ini belum menghasilkan kesepakatan yang berarti karena hanya menghasilkan janji pertemuan lanjutan, yakni kesepakatan menggelar empat pertemuan hingga Desember 2010, seperti perundingan perbatasan tingkat teknis ke-16 dan 17 masing-masing pada 11–12 Oktober 2010 di Malaysia dan 23–24 November 2010 di Indonesia.
Kedua Menlu juga dijadwalkan kembali menggelar pertemuan pada Desember 2010. Tapi pada kesempatan itu, Menlu Malaysia, Anifah berjanji tidak akan mengulangi lagi kejadian serupa dimasa mendatang.

0 komentar:

Posting Komentar

Tags

PENGUNJUNG

Blog Archive