Jumat, 25 Maret 2011

MEROKOK ITU KAMPUNGAN

Posted by Teropong Indonesia 01.52, under | No comments

Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) sebanyak 70% perokok yang paling banyak adalah masyarakat miskinPerokok itu sosok yang egois. Selain merugikan orang-orang di sekitarnya, mereka juga mengeluarkan uangnya untuk rokok enam kali lebih penting dari pendidikan dan kesehatan.
Sudah sebelas tahun, Tian Sian Long berhenti merokok. Pria kurus ini menceritakan pengalamannya jatuh bangun berhenti merokok kepada Berita Indonesia. Ia mengatakan, upaya kerasnya untuk berhenti akhirnya membawa perubahan signifikan terhadap kondisi kesehatannya.
Kini, pria berusia 57 tahun yang akrab dipanggil Ian itu sudah bisa menghirup napas dalam-dalam dan dadanya tidak terasa sesak lagi, hal yang tidak pernah dirasakannya ketika dirinya masih gemar merokok. Bahkan, ketika menjadi perokok, Tian kerap kali batuk-batuk pada malam hari.
Saat menjadi perokok, Tian bisa menghabiskan dua sampai tiga bungkus rokok, baik rokok kretek maupun rokok putih. Sebagai perokok berat, seringkali asap rokok yang dikeluarkan dari mulutnya, dia masukkan lagi lewat hidungnya. Artinya, asap rokok itu berputar-putar saja di seputar mulut dan hidung.
Sebagai pecandu rokok berat, kebiasaan ini tetap ia lakoni meski pernah mengidap penyakit TBC. Hingga pada suatu ketika Tian akhirnya memutuskan berhenti merokok yang dipicu oleh teguran seorang pendeta. “Awal saya berhenti merokok karena mendengar khutbah Pendeta di televisi yang mengatakan merokok menyebabkan Tuhan marah karena paru-paru merupakan organ tubuh ciptaan Tuhan yang sangat berharga. Kalau saya merokok berarti saya merusak ciptaan Tuhan itu.”
“Ketika itu saya pun pelan-pelan mulai menyadari dan kemudian berhenti total,” ujar Tian yang berprofesi sebagai jurnalis itu. Setelah meninggalkan kebiasaan merokok, Tian merasakan banyak manfaat.
Selain tubuhnya lebih sehat, dia mampu menabung. Setiap hari, minimal uang 10 ribu rupiah yang biasanya digunakan untuk membeli rokok dikumpulkannya. Kini, jumlah tabungannya telah mencapai hampir 45 juta rupiah. “Tadinya saya berpikir merokok itu bagian dari hak asasi dan gaya hidup. Tapi sekarang, buat saya, orang yang merokok itu orang yang kampungan, tidak menghargai hidup yang diberikan Tuhan,” ujar Tian menutup pembicaraan dengan Berita Indonesia.
Adanya dampak positif dari keputusan menghentikan kebiasaan merokok diakui pula oleh Kartono Muhamad, pengamat kesehatan dari Indonesia Tobacco Control Network. Dalam pandangannya, nilai kerugian akibat merokok bahkan lebih besar daripada ‘manfaat’-nya, seperti nilai cukai yang didapatkan negara dari rokok. Penghasilan negara dari cukai rokok tercatat 60 triliun rupiah per tahun. Namun, angka itu tidak sebanding dengan nilai kerugian dari timbulnya penyakit akibat kebiasaan merokok tersebut. “Berdasarkan penelitian Kementerian Kesehatan pada 2007, diketahui nilai biaya pengobatan penyakit akibat rokok mencapai 185 triliun rupiah. Biaya itu mencakup anggaran pemerintah melalui rumah sakit pemerintah serta biaya yang dikeluarkan masyarakat,” ujar Kartono.
Oleh karena itu, dia menyarankan agar rokok diekspor saja untuk menghasilkan devisa negara. Kartono juga mengungkapkan kekhawatirannya akan semakin banyaknya kaum perempuan yang merokok dan terpapar asap rokok.
Kekhawatiran Kartono juga dirasakan oleh Nita Yudi, Ketua Umum Wanita Indonesia Tanpa Tembakau (WITT). Soalnya, kian hari, kecenderungan orang Indonesia jadi perokok, terus meningkat. Dalam kurun 2001-2004 saja, naik sampai sembilan kali lipat. Bahkan, menurut data Biro Pusat Statistik (BPS) sebanyak 25 persen anak Indonesia usia 3-15 tahun sudah mencoba rokok dimana 3,2 persen di antaranya adalah perokok aktif.
Yang lebih memprihatinkan, menurut data Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) sebanyak 70% perokok yang paling banyak adalah masyarakat miskin. Orang miskin di Indonesia mengalokasikan uangnya untuk rokok pada urutan kedua setelah membeli beras. Fakta yang lebih mencengangkan, mereka mengeluarkan uangnya untuk rokok enam kali lebih penting dari pendidikan dan kesehatan. “Ini sangat menyedihkan,” sesal Nita, yang langsung mengindikasikan bahwa anak-anak dan perempuan adalah target market dari industri rokok.
Fakta ini membuat organisasi yang didirikan pada 1995 ini tidak mau berpangku tangan. Salah satunya dengan mengajak masyarakat untuk hidup sehat lewat terapi stop smoking. Terapi tersebut dengan suka hati, diikuti mulai dari anak 13 tahun sampai para petinggi perusahaan. Konon, rata-rata mereka biasa menghabiskan dua bungkus rokok per hari. Lalu, lewat terapi, mereka “dibikin” mual, dan merasa kapok sehingga berjanji tidak merokok lagi.
Dalam upayanya mengumandangkan bahaya merokok, WITT punya banyak pengalaman unik. Salah satunya dengan cara membawa dokter saat melakukan penyuluhan di sebuah perusahaan sekuritas. Ternyata, tiga per empat karyawan di sana perokok berat. Usai penyuluhan, Direktur Keuangan perusahaan tersebut dengan tegas berkeputusan: Kalau ada pegawai yang jatuh sakit akibat merokok, perusahaan tidak akan menanggung. Seketika seluruh karyawan berhenti merokok.
WITT juga berupaya mendesak pemerintah untuk segera mensahkan RPP Tembakau. Dalam RPP (Rancangan Peraturan Pemerintah) tersebut nantinya ada larangan produk rokok mensponsori berbagai kegiatan. Juga larangan iklan rokok dipasang di mana-mana, pelarangan menjual rokok secara eceran, hingga larangan menjual rokok kepada anak-anak di bawah 18 tahun.
WITT mengingatkan bahwa rokok bukanlah pemasukan terbesar untuk kas negara. Posisi rokok cuma di urutan ke 19. Nomor satu adalah perdagangan, dan migas di posisi kedua. Jadi, apa yang dikumandangkan produsen rokok bahwa rokok adalah penyumbang devisa terbesar, tidaklah benar. Pekerja atau buruh rokok pun hanya 0,02%, atau sekitar 2 juta orang dari total seluruh petani dan buruh di Indonesia.
Upaya serius dari pemerintah dalam perang melawan bahaya rokok juga sangat diharapkan. Di Jakarta, ketentuan larangan merokok di tempat umum sesungguhnya sudah diatur dalam Perda Nomor 2/2005 dan Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 75/2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok yang kemudian direvisi menjadi Pergub Nomor 88 Tahun 2010.
Sesuai Pergub revisi ini, ruang khusus perokok di dalam gedung yang wajib disediakan pengelola gedung ditiadakan. Perokok harus pindah ke luar gedung. Jika para pemilik/pengelola gedung tidak memiliki komitmen melaksanakan pergub ini, dapat dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis, penyebutan nama tempat kegiatan atau usaha secara terbuka kepada publik melalui media massa, penghentian sementara kegiatan usaha, dan pencabutan izin. “Saya tahu ini banyak yang protes, tapi kenyataanya mengusir orang yang merokok di gedung lebih gampang dari pada membuat ruangan khusus perokok,” ujar Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo kepada wartawan di Balaikota, Jumat (21/5).
Selain itu, sedikitnya 20 gedung perkantoran di DKI Jakarta dijadikan proyek percontohan penerapan kawasan dilarang merokok (KDM) mulai Juli 2010. Nantinya, 20 gedung itu segera menerapkan peraturan dilarang merokok di dalam gedung atau ruang tertutup. Gedung yang akan dijadikan proyek percontohan antara lain, gedung Balai Kota DKI Jakarta dan lima kantor Wali Kota Administrasi DKI Jakarta. Sedangkan sisanya antara lain, rumah sakit, sekolah, mal, dan gedung-gedung pemerintahan daerah DKI Jakarta.

0 komentar:

Posting Komentar

Tags

PENGUNJUNG

Blog Archive