Jumat, 25 Maret 2011

PUNCAK TRAGEDI PENDIDIKAN

Posted by Teropong Indonesia 01.57, under | No comments

Penyakit jiplak-menjiplak karya tulis atau plagiat hal yang serius untuk diantisipasi dalam dunia pendidikan IndonesiaTatkala persoalan pemerataan pendidikan belum teratasi, kini penyakit jiplak-menjiplak karya tulis atau plagiat merebak dalam dunia pendidikan Indonesia. Parahnya lagi, kecurangan ini juga banyak dilakukan oleh pendidik sendiri, bahkan oleh guru besar dan calon guru besar. Sanksi tegas diharapkan bisa mengubah kelakuan buruk ini.
Turut berduka cita kiranya layak diucapkan kepada dunia pendidikan Indonesia sekarang ini. Sebab, di tengah persoalan pemerataan pendidikan yang masih jauh dari harapan, juga polemik masalah ujian nasional di tingkat pendidikan dasar dan menengah serta berbagai kelemahan dalam pelaksanaannya, kini di tingkat pendidikan tinggi juga marak terjadi penjiplakan karya tulis atau plagiat untuk meraih gelar dan atau pengakuan prestasi.
Jiplak-menjiplak karya tulis ilmiah ini sebenarnya sudah lama berlangsung. Wakil Mendiknas Fasli Jalal misalnya, mengakui bahwa kasus penjiplakan dengan mengutip jurnal luar negeri sudah berlangsung lama di negeri ini.
Diduga, plagiat tidak hanya dilakukan mahasiswa, tapi juga oleh pejabat. Satu contoh, kasus yang menimpa Marwan Effendy, seorang jaksa yang pernah dicalonkan sebagai pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa tahun silam. Ia diduga melakukan plagiat dalam menyusun disertasi doktoral. Dalam uji kelayakan dan kepatutan (fit and properly test), Komisi III DPR mencurigai Kepala Pusat dan Latihan Kejaksaan Agung itu menjiplak lantaran menyelesaikan disertasinya hanya dalam waktu setahun. Wila Chandrawila, anggota Komisi III waktu itu, yang juga Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Katholik Parahiyangan, bercermin dari pengalamannya 30 tahun menangani disertasi, mengungkapkan tidak pernah ada calon doktor yang menyelesaikan disertasinya dalam tempo setahun.
Namun, terbongkarnya kasus plagiat yang dilakukan para pendidik - orang yang dianggap paling memiliki integritas, karena yang bersangkutan bekerja di ranah pengemban ilmu pengetahuan, intelektual, dan moral - seperti kasus plagiat sekitar 1.500-an guru di Pekanbaru, Riau dan ulah seorang guru besar yang menjiplak karya tulis seorang penulis luar negeri, membuat kasus ini belakangan ramai dibicarakan.
Parahnya lagi, beberapa kasus yang terbongkar itu juga diyakini hanya merupakan puncak gunung es. Artinya, sedikit yang tampak itu diyakini hanya gambaran dari sekian banyak yang belum kelihatan. Bahkan, plagiat karya tulis ini oleh sebagian orang rupanya sudah dianggap hal biasa.
Dengan marak serta terbukanya kesempatan melakukan plagiat ini, tidak mengherankan jika banyak sarjana bertitel panjang di negeri ini tetapi bobot ilmiahnya sangat rendah. Dengan besarnya kesempatan melakukan plagiat ini, maka tidak tertutup kemungkinan juga jika sebuah karya tulis telah dijiplak hingga berkali-kali.
Di kalangan mahasiswa strata satu (S1), plagiat skripsi diyakini sudah sejak lama dan masih terjadi hingga sekarang. Kebiasaan ini pun diduga tidak hanya terjadi di perguruan tinggi di kota tertentu saja, tapi merata di seluruh Tanah Air. Hal tersebut bisa dibuktikan dengan banyaknya jasa layanan pembuat skripsi di berbagai kota yang mengiklankan diri secara terang-terangan. Di beberapa kota, iklan jasa layanan pembuatan karya ilmiah itu bahkan menghiasi media massa maupun dalam bentuk selebaran yang ditempel di pinggir jalan. Mereka umumnya menyebut diri sebagai penjual jasa konsultasi atau bimbingan skripsi, tesis, dan disertasi.
Memerhatikan cara kerja para penjual jasa itu, pembuatan skripsi bisa dibedakan dalam dua jenis. Pertama, membuat sikripsi yang benar-benar baru. Dan kedua, menjiplak karya tulis orang lain dengan hanya mengganti nama penulis dan objek penelitian saja.
Kelakuan buruk ini sangatlah menyedihkan bagi pendidikan di negeri ini. Karena, perguruan tinggi yang selama ini dianggap sebagai benteng terakhir dalam menjaga moral, etika, dan kejujuran serta menjadi dapur pencetakan calon-calon pemimpin bangsa, ternyata banyak menelurkan orang-orang yang berkelakuan memalukan. Orang-orang berkelakuan penipu, yang sanggup menipu diri sendiri. Dengan kelakuan ini, semua bangunan idealisme yang selama ini dipercaya, dikhawatirkan akan runtuh.
Merebaknya kebiasaan plagiat di dunia pendidikan ini, menurut pendiri sekaligus Direktur Eksekutif Yayasan Warisan Luhur Indonesia (Indonesia Heritage Foundation) Ratna Megawangi merupakan bukti kegagalan sistem pendidikan dan pola asuh dalam keluarga, terutama karena belum adanya pendidikan karakter. “Kita tahu bohong dan mencontek itu salah, tetapi dibiarkan. Pemahaman atas benar-salah tidak dipraktikkan dalam perbuatan,” tuturnya.
Frietz R Tambunan, dosen Etika dan Metoda Penelitian Universitas Katolik St Thomas, Medan, sebagaimana dirilis Kompas mengatakan, banyaknya kecurangan di perguruan tinggi, khususnya penjiplakan, merupakan puncak tragedi pendidikan. Hilangnya kejujuran, katanya, sama artinya hilangnya roh pendidikan.
Bukti yang dikemukakan Frietz, aneka ketidakjujuran yang sudah berlangsung lama dalam konversi nilai ujian akhir nasional tahun 2004. Ini merupakan bukti kejahatan intelektual institusional yang dilakukan secara transparan oleh Depdiknas. “Sekarang kita menuai hasilnya,” kata Frietz.
Menurut Rektor Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata, Prof Yohannes Budi Widianarko, plagiatisme selama ini susah dideteksi sebab hanya diketahui oleh penulis yang bersangkutan dan korban plagiat. Plagiat terbongkar hanya jika korban atau ada pihak lain yang kebetulan mengetahui, serta mau melaporkannya.
Di kalangan mahasiswa, budaya plagiatisme umumnya terjadi karena si mahasiswa tidak mau pusing memikirkan berbagai kesulitan pengerjaan skripsi. Rendahnya kemauan dan kemampuan mahasiswa membuat karya tulis itu tentu sangatlah disayangkan, sebab budaya itu sangat merusak kualitas mahasiswa itu sendiri. Padahal, tugas akhir berupa skripsi, tesis atau disertasi itu seharusnya merupakan kesempatan bagi mahasiswa untuk membuat karya besar dalam hidupnya.
Tidak jauh berbeda dengan mahasiswa, plagiat di kalangan aparat birokrasi juga diduga sudah sangat banyak dan lama terjadi. Indikasinya, banyak birokrat yang tiba-tiba meraih gelar S1 atau S2 padahal tidak pernah terlihat menulis sebuah karya ilmiah dan melakukan penelitian, bahkan jarang terlihat mengikuti perkuliahan. Plagiat kalangan birokrat ini diduga dilakukan karena tidak mau repot atau karena tidak punya waktu. Padahal, gelar itu harus mereka peroleh sebagai syarat kenaikan pangkat atau jabatan.
Yang paling menyedihkan dalam kasus ini adalah plagiat yang dilakukan oleh dosen sendiri. Untuk meraih predikat guru besar demi kenaikan tunjangan, pembuatan karya ilmiah pun dilakukan dengan menghalalkan berbagai cara. Contohnya, memanfaatkan mahasiswanya untuk melakukan penelitian. Kemudian, ada juga yang menjiplak karya tulis dari luar negeri seperti yang baru-baru ini dilakukan Anak Agung Banyu Perwita, seorang guru besar Jurusan Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan, Bandung yang menjiplak karya tulis seorang penulis asal Australia. Dan yang paling memiriskan lagi adalah plagiat yang dilakukan seorang guru besar terhadap skripsi seorang mahasiswa S1.
Contohnya di Yogyakarta, dua calon guru besar perguruan tinggi swasta dicurigai mengajukan karya ilmiah hasil jiplakan dalam berkas pengajuan gelar guru besarnya. Kecurigaan muncul saat pemeriksaan berkas pengajuan gelar guru besar di tingkat universitas. Salah satu karya ilmiah yang diajukan pernah menjadi bahan diskusi dalam seminar internasional di Yogyakarta. Satu karya ilmiah lainnya diduga merupakan hasil skripsi mahasiswa S-1 sebuah perguruan tinggi negeri terkenal di Yogyakarta. Kecurangan itu terbongkar karena kebetulan reviewer karya ilmiah calon guru besar itu adalah pembimbing mahasiswa yang telah lulus tersebut.
Memperhatikan ulasan di atas, kiranya dalam program pendidikan di Indonesia ke depan, perlu penekanan pembelajaran dalam hal bagaimana menanamkan karakter dan nilai-nilai yang penting untuk menghadapi kehidupan. Karena ada kata bijak yang mengatakan, manusia belajar bukan untuk sekadar memperoleh nilai berupa angka-angka yang kadang bersifat relatif dan subyektif, tetapi belajar untuk hidup. Belajar untuk memperoleh nilai-nilai yang penting mendukung hidup manusia.
Untuk mencegah berkembangnya sekaligus menghapuskan budaya plagiat di masa depan, kiranya pengawasan terhadap karya ilmiah lebih ditingkatkan lagi. Usul Rektor Universitas Indonesia Gumilar Rusliwa Somantri yang mengatakan agar perguruan tinggi lebih gencar menyosialisasikan pengertian dan batasan penjiplakan, seperti dicontohkan di UI, dimana mahasiswa dan dosen harus memublikasikan karya ilmiahnya di kalangan internal dan umum agar diketahui jika terjadi plagiat, kiranya perlu diterapkan di berbagai perguruan tinggi lainnya.
Di samping itu, seperti dikatakan Fasli Jalal, perlu pengetatan aturan dan penjatuhan sanksi lebih serius di perguruan tinggi maupun pemerintah. Seperti juga dikatakan guru besar ilmu sejarah UGM Yogyakarta Bambang Purwanto, selama ini penjiplakan karya ilmiah cenderung ditutup-tutupi. Berlangsung terus tanpa sanksi. Hal mana kemudian telah mendorong makin merebaknya penjiplakan. Karena itu, menurutnya, seharusnya penjiplak dikenai sanksi tegas tanpa toleransi karena menyangkut mental dan moral bangsa. “Apa jadinya bangsa ini jika para calon pemimpin bangsa ini dididik oleh pencuri?” ujar Bambang.
Mengenai sanksi tersebut, jika pelakunya seorang mahasiswa yang baru lulus, barangkali pantas dikenakan sanksi pencabutan gelar. Sedangkan jika pelakunya adalah seorang birokrat, di samping sanksi pencabutan gelar, pemecatan dari pekerjaannya juga kiranya pantas dikenakan. Kemudian, jika pelakunya adalah seorang pendidik, yakni guru atau dosen, di samping sanksi pencabutan gelar dan pemecatan dari pekerjaannya, pengumuman pelanggaran itu kepada publik juga barangkali pantas dikenakan. Maksudnya, agar publik tahu bahwa pelaku adalah penghianat misi pendidikan itu sendiri. Dengan demikian, si pelaku tidak diterima lagi jadi tenaga pengajar di lembaga pendidikan manapun.
Mengingat plagiat ini juga sering terjadi akibat kekurangmampuan pelaku menulis karya tulis, maka tindakan preventif juga tidak kalah pentingnya dilakukan guna meminimalisasi kebiasaan ini di kemudian hari. Salah satu caranya, senang menulis kiranya perlu ditanamkan kepada pelajar sejak dini dengan memasukkannya sebagai salah satu program pendidikan nasional.

0 komentar:

Posting Komentar

Tags

PENGUNJUNG

Blog Archive